Ads 468x60px

Thursday, April 17, 2014

Industri Jasa Pencucian Dosa

Tulisan ini saya awali dengan mengangkat cerita yang berbeda nasib tokohnya tapi bertema serupa. Kisah pertama tentang kerabat dekat di desa saya yang lumayan duafakeadaan hidupnya. Ia seorang janda tua dengan 6 orang anak.
Sejak ditingggal wafat suaminya yang bekerja sebagai carik dengan penghasilan pas-pasan, ibu ini kian berat menghidupi keluarganya sehari-hari. Gali lobang tutup hutang sudah biasa dikerjakannya.
Sampai suatu hari sekitar dua tahun lalu, saya mendengar ia menjual lepas sawah satu-satunya —harapan investasi masa depan utama dan jaminan ketahanan pangan keluarga—kepada kerabatnya yang lebih kaya.
Mulanya saya bersyukur karena saya kira hasil penjualan properti pribadi ini akan digunakan untuk melunasi tanggungan hutang yang menggunung. Mungkin juga sisanya untuk modal investasi usaha ekonomi produktif yang dikelola keluarga. Ternyata tidak. Perkiraan saya meleset jauh.
Uang hasil jualan sawah itu disimpan untuk rencana ziarah haji ke Makkah. Konon, menurut hasil konsultansi dengan ahli agama yang dipercayainya, semua beban pinjaman hutang yang ia tanggung bisa “didoakan” dan “diberkahi” dari tanah suci. Plus semua dosa-dosa selama hidupnya akan diampuni dan diganjar surga jika ia berhasil sampai di sana.
Berharap baik akan terpenuhi janji ahli agama ini, ia pun rela melepas sawah satu-satunya —usaha produktif yang tersisa milik keluarga.
Namun tanpa dikira, kerabat saya ini tidak bisa begitu saja mengikuti proses hajinya dengan segera.
Selain harus melalui sistem arisan bergiliran diantara jamaah pengajian –semacam pola MLM–, uang hasil penjualan sawah mulai habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi, anak-anaknya berebutan meminta bagian warisan. Kloplah sudah.
Cicilan perjalanan haji yang ia titipkan lewat menantu keponakan yang dipercayainya sebagai orang pinter agama –bukan di rekening bank—kini mandeg. Hasil jual sawah yang awalnya berjumlah puluhan juta kini tersisa ratusan ribu saja.
Mimpi ke tanah suci untuk menghapus dosa dan meringankan beban hutangnya, kini terancam pupus. Sementara usaha satu-satunya sudah tergadai putus. Ibu janda tua kerabat saya ini baru menyadari keputusannya yang keliru itu dengan sesal tangis. Betul-betul tragis.
Apa yang menimpa kerabat ini juga menimpa tetangga saya di desa. Banyak dari mereka yang menjual sawah satu-satunya milik keluarga demi kuota kursi haji yang mesti ngantri 12-15 tahun lagi. Ongkos haji dicicil dengan iuran arisan.
Beberapa dari mereka nombok hutang pinjaman di lembaga jasa keuangan –yang pasti berlipat bunga cicilannya. Sebagian yang tidak kuat, kemudian menggadaikan sertifikat tanah sawah. Sebagian lagi sudah keburu wafat sebelum berhasil berangkat – kelamaan menanti antrian pemberangkatan???
Penyampaian informasi yang salah tentang prioritas ibadah oleh cendekia agama, jadi penyebab tragedi “konspirasi kemakmuran” ini. Maaf, jika kondisi ini –menurut kebodohan saya—manfaatnya baru menyapa pelaku niaga ziarah tour saja.
Riil fakta di kaum awam desa yang tahunya cuma gelar H, manut pada “iklan pengampunan+rukun kesempurnaan” yang dijanjikan oknum cendekia –merangkap pengusaha tour ziarah agama. Persis seperti yang dialami kerabat saya tadi.
Pada kisah yang serupa, banyak diantara sosialita kita –dari pejabat tinggi maupun selebriti—yang memanfaatkan perjalanan ke tanah suci sebagai “pembasuhan kekeliruan”.Epok-epok sesaat istirahat dari perbuatan maksiat. Bahasa satir prokem kita mengenalnya sebagai ciri taat “tomat” –berangkat TObat, pulang kuMAT.
Peluang ekonomi ini kemudian dikomersialisasi oleh oknum pebisnis jalanan sebagai industri bergelimang uang. Dapatlah rantai supply and demand. Mirisnya, oknum cendekia agama kita kerap terlibat mesra di dalamnya.
Muncullah perjalanan rombongan bareng ahli agama ini, duet ziarah suci bersama artis alim ini, rekreasi ruhani, wisata religi, dan paket-paket “tour safari agama” lainnya.
Pikiran cekak saya sering menggugat, “Lha wong kadang empat rukun wajib sebelumnya saja mereka tidak taat, kok sudah “diprovokasi” cepat-cepat berangkat? Lalu di mana letak nilai ritual suci ibadah bersyarat “manis-tatho’a” ini ? Apakah bisa kaum awam ini mau terbang mabrur dengan cara ngawur ?”
Pada kasus kerabat saya misalnya, akan lebih baik dan arif bijaksana jika tokoh agama memberikan tarbiyah tentang prioritas ibadah. Anjurkan mereka melunasi hutang, membayarkan zakat secara rutin, melaksanakan sholat fardlu ‘ain, puasa wajib dan sunnah, serta amal-amal sosial sebagai ejawantah syahadat ilahiah.
Karena itulah sebetulnya esensi haji, dimana pengorbanan dan ketiadaan kepemilikan properti pribadi akan diuji.
Dus, berangkat haji ke tanah suci, adalah dengan syarat ketat “bagi yang mampu”. Mampu setelah menunaikan seluruh kewajiban beramal, mampu secara jaminan finansial dan mampu melaksanakan tanggungjawab sosial. Ini yang kerap luput disampaikan para cendekia agama kepada umatnya.
Pada kasus kerabat saya misalnya, tokoh agama harusnya mewajibkan dia melunasi hutang dulu. Bukan malah “memprovokasinya” untuk ziarah ke Mekkah –dengan janji pengampunan dan makbul doa kemudahan melunasi pinjaman.
Saya menyeru pembaca, masih banyak cara yang bisa kita tempuh untuk menggiatkan kaul pelayanan serta pengabdian kepada Allah –sebelum kita mantap diri ke tanah suci.
Misalnya “haji” sosial dengan cara muhibah amal menyambangi dan mendonasi para duafa di penjuru bumi pertiwi ini, saya rasa lebih berdimensi ilahi dan manusiawi.
Secara Indonesia, gerakan ijtihad “haji” muhibah amal sosial ini akan membawa dampak bagi masyarakat banyak dan lebih berasa manfaat langsungnya.
Mungkin cara pandang alternatif “haji” ini terlalu ekstrim “kanan” bagi sebagian rekan, atau malah saya difatwa blasphemy-sesat-gila. Tetapi setidaknya saya harus berkaca pada kisah tukang jahit sepatu yang secara fisik “gagal” menginjakkan kaki di tanah suci.
Meski tidak di tanah suci, namun karena ia ikhlas menyedekahkan semua uang simpanan calon biaya pemberangkatan hajinya untuk mengobatkan tetangga yang sakit, ternyata ia malah dicatat malaikat sebagai Haji Mabrur.
Pembaca, saya tidak berani mencela kesakralan ritual religi, apalagi menyalahi rukun haji. Pelaksanaan haji tetap wajib bagi setiap pribadi dan penting untuk diikhtiari. Setiap muslim seperti saya, pasti berkeinginan menyambangi Baitullah yang mulia,
Kapasitas tulisan saya hanya membuka wacana bagi pelurusan pemahaman kita semua tentang nilai prioritas ibadah yang perlu diejawantah. Semoga saja tidak terjadi prasangka “bisnis suci” ini sebagai modus ekonomi saja atas tata niaga waralaba agama.
Mari kita berhati-hati menyikapi ajakan yang menggampangkan makna perjalanan haji nan suci ini. Karena kesembronoan penafsiran dan kepedean berperan jadi “tuhan” yang menjanjikan obral ampunan bisa berakibat sangat mencelakakan.
Jika memang sekadar begini “pemelintiran” makna ritual religi ke tanah suci –yakni kepastian pengampunan dan kemudahan doa-doa keduniawian– maka afdolnya suruh saja itu pelaku korupsi arisan pergi haji dan dosanya pasti digaransi terampuni.
Seterusnya kekeliruan akan kian merajalela atau berjatuhan korban keawaman akibat marak fenomena “industri jasa pencucian dosa” yang manis iklannya digencar getok tular para oknum cendekia agama.
Saya hanya berharap-harap doa, semoga anomali dan ironi yang membawa korban seperti kerabat saya tadi –akibat salah memahami prioritas ibadah serta modus ekonomi bisnis ziarah religi–, tidak terjadi lagi di bumi Indonesia ini. Aamiin ya robbal alamin.

0 comments:

Post a Comment

 

Pengikut