Ads 468x60px

Thursday, June 12, 2014

Gelora, Cerita Adu Dogma

by 

Potret karya anak-anak pengungsi yang diterapi psikososial. Pada kertas mereka bercerita tentang tangis derita atas nasib rumah dan keluarga mereka.
Foto & Teks: Gus Adhim
“Perang !” teriak kedua kubu yang berseteru itu. Mereka menyeruput dogma serupa, tentang sejumput kesalahan yang harus dikafirkan. Lupa mengkafirkan dosa dirinya. Katanya semangat jihad, enggan mengaku keliru. Mudah mengintip kuman di seberang lautan, luput melihat gajah yang menempel di dekat jidat.
Pada akhirnya tidak ada yang jadi pemenang, karena keduanya berlumuran tangis derita korban. Tinggallah, musuh ghoib syetan yang kini bertepuktangan karena sukses mengadu nyawa manusia.
Relawan SANTANA-SPMAA menghela terapi trauma untuk survival anak, wanita dan ibu lanjut usia.
Anak, wanita dan ibu lanjut usia adalah survival rentan yang kerap mengundang keprihatinan. Mereka terpaksa menanggung lara trauma akibat pilihan dogma keluarga dan provokasi para cendekia. Pada coretan visual dan gambar mural, mereka tumpahkan unjuk emosional yang sentimental.
Husin ingin bergembira lewat cerita gambarnya
“Namaku Husin,” karya mural anak psikososial
“Namaku Husin,” tulis anak ini yakin. Mungkin ia tidak sekadar menulis, tetapi ia ingin mengurai detil cerita tentang sebuah dogma, tentang keluarganya yang menamainya seperti sang idola. Di sampingnya, merah putih bendera kita melirik penuh tanya, “ada apa dengan nusantara? Kenapa hanya karena beda nama dan hasutan kepentingan, semua saling tawuran?”
Di sudut tangis dan tawa mereka, merah putih tetap hadir menyapa.
Seorang nenek renta mengecap bencana akibat pilihan dogma yang diyakini keluarganya
Di hamparan arena gelanggang olahraga, mereka saling bertindih perih, mengecap resiko madzhab yang dianggap berbeda dengan arus utama. Tertidur membujur, seorang nenek melepaskan kepenatan setelah bertahan dari ancaman pengusiran dan pembunuhan. Di sudut lain, seorang ibu bersama anaknya melamun nasib.
Apakah mereka sengaja diadu dogma kaum cendekia?
Ibu ini, suaminya turut jadi korban meninggal dunia.
Para pengungsi lesehan ini beralaskan kesemrawutan di antara spanduk bertuliskan “Selamat Bertanding”, “Fair Play”, “Junjung Sportifitas”. Seolah nasib mereka memang sedang diadu nyawa, dijadikan alat niaga, diperalat waralaba agama oleh para cendekia.
Bocah kecil setengah bugil membersihkan kotoran di kamp pengungsian.
Prasasti nama & petugas bhayangkara, apakah mereka melindungi hak asasi anak ini?
Nampak bocah kecil setengah bugil berlari menenteng pengeruk sampah. “Ayo nak bersihkan negeri ini dari jelaga politisi dan makelar ideologi,” bisik saya di kupingnya.
Sementara di luar arena, anak kecil lainnya sedang bersandar meraba sebuah prasasti nama yang mestinya bisa mengayominya. Tetapi, ia belum mendapati hak dasarnya ini.
Ibu dan anak, survival rentan dari korban kebencanaan.
Menjadi pengungsi di negeri sendiri, mengiba derma dunia
Guyonan satir sebagian (besar) rekan-rekan cendekia agama (baca: nadliyin) di madura jika ditanya, “Masyarakat madura agamanya apa?”, maka mereka akan jawab, “99 % muslim.” Misalnya kita kejar, “Lha yang 1 % itu agamanya apa?” “Muhammadiyah !” jawab mereka mantap.
anekdot kita bikin tertawa, tetapi buat mereka bisa jadi petaka dan kehilangan nyawa keluarga
Meski anekdot itu bisa membuat
mural warna dan cerita dogma.
kita sejenak tertawa, tapi di tingkat masyarakat bawah sana, ejawantah guyonan itu bisa bikin putus kepala, carok antar keluarga dan tawuran sesama desa. Mirisnya, ini kerap dipicu para cendekia yang harusnya berkompeten menggembala konstituen.
Di rumah Indonesia yang berasas Pancasila dan Berketuhanan Yang Maha Esa, perbedaan bisa memicu perselisihan hingga konflik pertempuran. Sedihnya, semua diatasnamakan membela kebenaran, mempertahankan keimanan. Sementara kita berlaga penuh peluh dan bersimbah darah, di luar sana, media manca negara menertawakan Indonesia. Mereka gunjingkan parodi dan anomali kekerdilan bangsa ini, menyoraki perang saudara serumpun kita.
Rumah Indonesia berkelir bersih merah putih
media mancanegara menggunjing budaya warta kita yang melulu berumus “bad news is good news”.
Sengaja saya menulis “korban bencana”, dan bukan “korban konflik agama”. Karena saya tak berani berspekulasi di sini. Cukuplah saya tahu, bahwa mereka awalnya dari satu bacaan sholawatan, serumpun rukun cara tahlil dan norma sub-kulturnya. “Agama” mereka nyaris serupa. Hanya, karena disulut “sesuatu”, mereka dikondisikan berjibaku. Mereka, adalah korban bencana adu dogma.
Pada tulisan ini, saya berusaha imparsial dan netral sebagai konsekwensi pekerjaan sukarelawan yang saya emban. Saya membela manusia, tidak hanya memihak satu saja diantara mereka. Karena bagi saya, mereka semua adalah serumpun bangsa tanpa sekat sektarian SARA.
Silakan dicatat, “isyhaduu bi anna muslimiin.” Saya warga Indonesia pembelajar muslimNYA yang pasrah menyembah dan berupaya tidak terbelah dikotomi madzhab sunni-syiah. Saya hanya kepingin melihat manusia seluruh dunia –khususnya Indonesia– dalam sebentuk tubuh utuh, bukan ceceran organ yang saling tarik menarik dan mencerai-beraikan.
Akhirnya, memang perlu intensifikasi doa plus pendekatan ProvoKasiH & MotivAsiH kita semua kepada para cendekia supaya mereka tidak loba dalam berbisnis “waralaba agama”.
Sekaligus diprioritaskan aksi pencerdasan kaum bawahan, agar mereka tidak lagi menjadi korban penipuan “pecah belah ibadah” , “undian ganjaran” dan “karapan iman”.
Demikian kilas pengalaman saya dari hasil berdinamika dengan sedulur seIndonesia, plus Rabu (29/8) kemarin sempat “macak relawan+wartawan”, menengok keadaan pengungsi bencana dikotomi syiah-sunni di arena gelanggang olahraga (Gelora) kota Sampang-Madura.
Semoga dogma tidak beralih fungsi menciptakan dikotomi besi yang memecah belah kesatuan beribadah.

Tuesday, June 3, 2014

17 TAHUN HIDUP TANPA UANG

www.spmaakita.blogspot.com - Uang, uang dan uang..(bahagia tanpa uang)
Sebuah benda yang membuat banyak orang ingin memilikinya. Uang bisa membuat manusia jadi tamak. Uang bisa membuat seseorang 'menginjak-injak' orang lain. Bahkan uang bisa membuat seseorang membunuh orang lain. Ya.. itulah sisi gelap uang. Hampir tidak ada yang gratis di dunia ini, semua butuh uang. Kadang uang menekan hidup, karena itulah wanita ini memutuskan untuk hidup tanpa uang.

Aneh memang, di zaman yang serba gila kekayaan dan silau harta, Heidemarie Schwermer yang hampir berusia 70 tahun justru memutuskan untuk meninggalkan hidup mewahnya. Wanita yang berasal dari Jerman ini memulai petualangan saat usianya masih 50 tahun. Heidemarie meninggalkan pekerjaan sebagai psikoterapis dan yakin bisa hidup tanpa uang. Kisahnya bahkan dibuat film dengan judul Living Without Money, dilansir dari situs Business Insider.
Keluargaku Kaya, Tetapi Miskin


Kisah ini bermula saat keluarga Heidemarie mengalami kebangkrutan di Perang Dunia II sekitar tahun 1940. Dengan jerih payah ayahnya yang seorang pengusaha kopi, keluarga mereka kembali berjaya dan kaya raya. Tetapi.. ada pergolakan batin saat keluarga Heidemarie mempertahankan kekayaan sekuatnya. Heidemarie muda berpikir, apakah keluarganya sungguh kaya atau sebenarnya miskin secara batin?

Heidemarie akhirnya meninggalkan kehidupannya yang bergelimang harta, dia bergabung dalam perkumpulan penduduk lokal. Perkumpulan itu akan membuat seseorang bekerja untuk mendapatkan barang, bukan uang. Heidemarie bekerja sebagai pengasuh anak hingga tukang bersih-bersih. Semua dia lakukan dengan gembira. Heidemarie bahkan tidak keberatan memberikan rumahnya secara cuma-cuma pada kerabatnya.
"Saya rasa itulah saat yang tepat, saya memberikan rumah dan semua yang saya miliki," ujar Heidemarie. Semua barang diserahkan, kecuali barang pribadi yang memiliki kenangan, semua dimasukkan dalam koper kecil.

Bahagia Hidup Dalam Kesederhanaan

Walaupun hanya mendapatkan bayaran berupa barang, Heidemarie tidak keberatan menyumbangkan baju yang didapat untuk orang lain. Sementara itu orang lain secara ajaib sering membantu Heidemarie, dia menyebutnya mukjizat, bukan sumbangan semata. "Setiap hari saya melihat banyak keajaiban di dalam hidup saya," ujarnya.
Banyak memberi, banyak menerima, itulah kata-kata yang sering diucapkan Heidemarie. Bertahun-tahun hidup tanpa uang tidak selalu mulus, kadang Heidemarie harus mencari sisa sayur segar di pasar. Walau begitu, Heidemarie tidak mau disebut tunawisma, karena dia bahagia dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
Perjuangan hidup Heidemarie membuatnya dipercaya untuk melatih mahasiswa ahli lingkungan BUND Youth dari Muenster. Ada beberapa orang yang mengkritik gaya hidup Heidemarie, tetapi baginya, kritikan itu bisa diterima walaupun menyakitkan. Ada juga yang memberi respon positif bahwa uang tidak selalu memberi kebahagiaan, ada orang yang banyak uang tetapi miskin hati.
Dalam kesederhanaan, selalu ada kebahagiaan. Bagaimana dengan Anda ?

Sumber: http://www.vemale.com/inspiring/lentera/28387-hidup-tanpa-uang-selama-16-tahun-wanita-ini-bahagia.html
 

Pengikut