Ads 468x60px

Saturday, April 12, 2014

Aliyyaa

Tersebutlah sebuah nama di negara wilayah Afrika sana. Pemilik nama ini mengklaim sebagai pejuang kebebasan beragama dan persamaan hak wanita.

Misi yang diusungnya ialah ingin “membuat semua manusia setara derajatnya dengan tanpa membeda-bedakan jenis  keyakinan atau lekuk aurat badan”. Untuk aksi ini, ia kerap nekad bernyali telanjang tanpa sehelai benang dalam setiap unjuk rasa yang digelarnya.
Alia, demikian ia mengakui namanya. Secara nahwu bahasa, Alia ini memiliki makna “tinggi”. Saya percaya orang tuanya berkeinginan supaya Alia berderajat mulia sebagaimana arti namanya.

Tapi entah bagaimana, si Alia ini punya versi sendiri dalam mengeja kemuliaan namanya. Ia mungkin memahami, bahwa “ketinggian” nama derajatnya ada pada “kampanye kesetaraan” yang tidak dibatasi badan dengan cara bugil berunjuk rasa.

Pada kisah lainnya, Al Quran menceritakan tentang kekuatan, kesabaran, kemuliaan, kecerdasan dan keunggulan seorang Ibu Maryam. Beliau adalah orang tua tunggal  dari Rasulullaah Isa ‘alaissalaam.
Jauh sebelum ada teori single parent, Ibu Maryam sudah mempraktikannya melalui kelahiran dan pengasuhan putera satu-satunya. Rahmat hebat yang diberikan Allah SWT pada Ibu Maryam mengilhami kita semua tentang figur wanita teladan yang patut dipahlawankan.

Sebagaimana kita sering tadarus bersama, di dalam surat Maryam tertulis beberapa cerita keteladanan yang patriotik dan heroik. Diantara cerita itu ada nama Ibu Maryam, ibu kita semua, terutama ibu muslimah dunia.

Di surat Maryam inilah, Allah mengajarkan ta’alimuta’alim dalam menghormati para pahlawan ini. Kalimat yang tersurat di sana adalah, “wa rofa’naahu makaanan ‘aliyyaa (dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi)” ~QS. 19:57~

Dua nama yang saya tulis ini memiliki kesamaan kata, yakni “Aliya”.  Keduanya bermakna “tinggi”. Hanya saja, satu baru teraksara dalam nama yang berusaha dipopulerkannya.
Sedang satunya sudah sah ditetapkan oleh firman Tuhan dalam Al Quran dan diakui oleh umat beragama sedunia.

Terdapat perbedaan tajam antara kisah Ibu Maryam dan si Alia dari Afrika, walau keduanya diproyeksikan sebagai simbol pembela kaum beragama dan hak wanita.
Si Alia ngotot –katanya– memperjuangkan kebebasan pilihan untuk tidak beragama dan kesetaraan derajat wanita dengan cara menelanjangi badannya.

Ia mempersilakan dunia melihat kemaluannya secara cuma-cuma.
Agama diprotesnya sebagai aturan keterpaksaan yang terlalu membatasi hak badan.
Lewat demo bugilnya, si Alia seperti hendak berteriak kepada khalayak,  “Ya saya demonstran anti ketuhanan. Tanpa aturan agama, saya si Alia yang bermakna “tinggi” ini bisa terkenal jadi sosialita sedunia!”

Sebaliknya Ibu Maryam menjalani laku “nyepi” di dalam hijab mihrab. Beliau seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, khusyuk beribadah ruku’, dan bersuci dari godaan lelaki.

Ibu Maryam suka rela hidup beragama menjalankan kaul pelayanan Tuhan dan menikmati segala ujianNYA tanpa dipaksa-paksa. Beliau membuktikan kodrat kewanitaan bisa menghadirkan relasi keibuan yang penuh kasih sekaligus bakti ketuhanan secara berlebih.

Untuk prestasi Ibu Maryam ini, Allah memberikan ucapan selamat sholawat, “wa salaamun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamuutu wa yauma yub’atsu hayyaa ( dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali) ~QS. 19:15~
Pembaca Lentera, saya berikan tawaran kepada kita semua untuk cerdas memahami dua pilihan “derajat tinggi” atau “Aliyyaa” ini.

Pilihan pertama bersirobok aksi sok keren aktifis femen si Alia dari Afrika yang ngakunya menyuarakan  aspirasi komunitas atheis dan feminis liberalis.

Tawaran kedua menemui Ibu Maryam yang mewakili representasi kaum ibu sekaligus mewartakan derajat mulia umat beragama. Mau memilih yang mana, itu hak kita.

Jika percaya suara Alia, berarti kita seiya untuk tidak beragama. Kita mendukung eksistensi sekte nudis ini yang hobi menelanjangi diri di tempat-tempat berkumpulnya masyarakat.

Kita bersepakat menyuarakan “pengusiran” Tuhan dari sendi-sendi kehidupan dunia ini.
Sekaligus kita juga yakin, bahwa derajat dan martabat kaum wanita semestinya diumbar saja kepada dunia lewat pertunjukan etalase kemaluan tanpa perlu malu-malu. Sebab menurut logika cekak Alia, agama terasa memenjara wanita dari kebebasan syahwatnya.

Jika kita lebih memilih ikut Ibu Maryam, tentu kita harus mau bersukarela beragama, walau aturannya kerap “memaksa”. Kita berhijab dalam mihrab dengan cara berpakaian rapat menutup aurat.
Kita bangun hubungan keintiman dengan Tuhan yang terejawantah dalam setiap amal aspek sosial dan lingkungan kemasyarakatan.

Kita tunjukkan marwah dan barokah kaum ibu beserta kodrat kewanitaannya sebagai rahim peradaban mulia insan. Sehingga ia perlu dijaga kehormatannya dari upaya penelanjangan dunia.

Ibu Maryam meneladankan kepada kita  bahwa kebebasan beragama justru diperolehnya ketika ia menjadi wanita, di mana ia bisa menjalani kodratnya sebagai manajer keluarga sekaligus mengepalai madrasah rumah.
Jika kita ikhlas menirunya dengan segala resiko tidak enak dan atau dicibir khalayak, berarti kita siap menempati derajat tinggi, sesuai makna “Aliyya” sesungguhnya.

Tentu saja saya bersepakat pada suara Ibu Maryam ‘alaihassalaam. Karena beliau terbukti sebagai “’Aliyyaa” sejati dengan melahirkan Al Mahdi, yakni Rasulullah Isa yang kita percaya sebagai utusanNYA.
Ibu Maryam patut kita turut sebagai figur wanita mulia dan teladan keluarga muslim/muslimah sedunia.
Sedangkan si Alia dari Afrika hanya bisa memamerkan kemaluan dan mendemonstrasikan protes kewanitaan lewat cara asusila.

Alih-alih percaya cita-cita mulia orang tuanya, Alia malah mendegradasi diri dengan mem-bully nama akhir “al mahdi” sebagai dagelan “iman” bersyahwat kebebasan dan pertunjukan budak spekulan kepentingan.
Ia gagal mencitrakan diri sebagai wanita merdeka yang bermartabat tinggi nan mulia di hadapan dunia dan penciptaNYA. Semoga saja kita semua tidak tertipu atau lugu meniru drama Alia versi XXX ini.

0 comments:

Post a Comment

 

Pengikut