Di pesantren kami, ada beberapa
fenomena istimewa yang patut disyukuri bulan Juni ini. Selain persiapan maraton
untuk acara milad 50 tahun ma’had, banyak tamu datang
bergantian hampir setiap hari. Diantaranya kami kerawuhan serombongan
mahasiswa pasca sarjana perguruan tinggi negeri ternama dari Jakarta. Mereka
bermaksud live in mengikuti tradisi santri selama sepekan dalam
kegiatan bertitel “Belajar Mentoring Bersama Santri & Mahasiswa”. Hari
kedua, bakda sholat subuh berjamaah. Seperti biasa jadwal rutin pesantren
adalah pengajian tafsir Al Quran. Keenam belas calon magister yang berasal dari
beragam budaya itu pun turut mengikuti majelis. Kebetulan kajian materi Al
Quran sampai pada surat Al Maidah ayat 8 :
“Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menjadi
istimewa dan khas Indonesia suasana majelis di pagi hari itu karena pesertanya
bukan hanya santri, tapi diikuti juga oleh rekan-rekan mahasiswa yang
berbeda-beda agama dan budaya tadi. Dengan duduk bersila baris tertata,
pengajian yang diikuti anak-anak, mbah lansia, remaja, pemuda dan
mahasiswa S2, bersatu dalam majelis yang setara. Alhamdulillah selama
hampir 90 menit semua peserta majelis pengajian dapat saling guyub
berbagi pertanyaan dan jawaban. Tanpa banyak retorika, wajah ramah
Indonesia tersaji sesungguhnya. Di pagi itu, kesadaran kami seperti dilahirkan
kembali oleh ibu pertiwi. Bahwa sesungguhnya awal muasal semua manusia adalah
saudara sebangsa tanpa imbuhan SARA.
Indonesia, sebagai kumpulan ribuan
bangsa dan budaya, nampak akur bertutur di pengajian pagi itu. Seorang santri
yang duduk di sebelah saya berbisik, “Gus tahukah sampean, hari ini Indonesia
memperingati kelahiran Pancasila?” Saya pun spontan melirik kalender yang
menempel di dinding masjid. Ternyata memang iya, kalender menandai hari itu 1
Juni. Tanggal yang dipercayai sejarawan sebagai lahirnya Pancasila di
bumi Indonesia. “Alhamdulillaah,” bisik hati saya berkali-kali.
Mungkin inilah yang disebut ayyaamillaah.
Hari-hari Allah yang pasti terjadi. Tanpa direncana sebelumnya, kajian
ayat tentang keadilan itu diikuti oleh wakil-wakil kaum Indonesia. Kami para
santri mewakili mayoritas, dan rekan-rekan mahasiswa itu delegasi
minoritas. Selain itu, para santri yang memang asalnya dari Aceh sampai
Irian Jaya. Sungguh miniatur keberagaman Indonesia yang membersyukurkan potensi
nusantara. Pasnya lagi, kami peringati Pancasila langsung praktiknya.
Lebih
khusus menjadi renungan buat kami kaum santri yang mengaku beriman. Ayat 8
surat Al Maidah itu memberikan peringatan tegas atas perilaku sosial kita pada
kelompok lain yang berbeda. Kajian tafsir yang diampu Gus Glory hari itu,
mengurai makna keadilan dari sisi kemanusiaan. Berbicara fakta kritis
keIndonesiaan dan refleksi kekinian. Sering, ketika tidak suka kepada
madzhab yang berbeda atau identitas SARA lainnya, maka sikap negatif gebyah
uyah menjadi lumrah. Di pihak kita selalu merasa benar saja, sementara
mereka salah bahkan najis selamanya.
Hingga pada norma sosial dan praktik
kehidupan komunal, laku ketidakadilan kita paksakan berjalan.
Nalar sehat dikalahkan naluri jahat.
Emosi dan benci lebih menguasai daripada kebaikan budi dan kejernihan nurani.
Di satu moment kita meneriakkan keadilan, tapi di waktu lain kita menanamkan
benih rasisme berlebihan. Kembali merenungi momen penuh rahmat di pagi
hari itu. Kami para santri yang mewakili mayoritas kaum beriman nusantara,
ditunjukkan kenyataan bahwa nilai adiluhung Pancasila sudah pas untuk mengelola
dan menyatukan potensi raksasa bernama Indonesia. Maka akan jadi anomali
jika kami para santri belum bisa adil pada kelompok yang berbeda keyakinan.
Karena perlaku tidak adil itu sama saja dengan penolakan terhadap kebenaran ajaran
Al Quran.
Meski masih diramaikan perdebatan,
saya meyakini kesesuaian ajaran Al Quran dan Pancasila beriring pada jalur
cita-cita yang sama. Al Quran mengajarkan ketauhidan, Pancasila
menyahutinya di sila pertama. Al Maidah ayat 8 menyuruh kita kaum beriman
berbuat adil dan Pancasila mengamininya di sila kedua. Seterusnya ayat tentang
persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial juga termuat di sila
Pancasila berikutnya. Pagi itu, tanpa terasa kami telah belajar
mempraktikkan ajaran Al Quran sekaligus sila kedua dan terakhir Pancasila.
Belajar memaknai nilai kemanusiaan dan keadilan melalui aksi kecil yang riil.
Praktik menyikapi secara adil kehidupan Indonesia yang dilahirkan berbeda-beda
rupa karakter dan keyakinannya.
Melalui
kegiatan sederhana dan bisa diikuti oleh semua, Pancasila bisa dipraktikkan
kapan saja bila ada keseriusan niat menjalankannya. Jangan sampai terjadi
negara dan bangsa lain mulai meniru filosofi Pancasila, sementara kita justeru
bergegas melupakannya. Berangkat dari pengalaman pagi itu, saya mengajak
Anda untuk praktik pengalaman serupa. Memperingati kelahiran Pancasila tanpa
buih kata, tanpa genit langgam retorika, tanpa riuh dihipnotis gegap gempita
media. Tapi langsung praktik kehidupan sosial di lingkungan terdekat kita.
Karena jika tidak dengan cara
demikian, maka Pancasila akan tertutup pelan-pelan di buku kenang-kenangan
peradaban. Mungkin hanya akan dibaca sekali saat rangkaian upacara tujuh
belasan. Teronggok maya dalam formalitas belaka tanpa makna.
0 comments:
Post a Comment