Kepalsuan Cinta | Gus Glory | Penulis |
Spontan saya ingin jawab besar kepada Allah,
tapi nafas saya seolah tercekat. Karena saya rasa itu dusta. Lalu timbul
jawaban lain, ya seimbang lah, tapi itupun tertahan, karena bahkan seimbangpun
sepertinya belum.
Akhirnya jawaban yang muncul adalah
penjelasan-penjelasan saya yang nggak jelas. Kumpulan logika, justifikasi dan
penafsiran dangkal dari dalil-dalil, semuanya hanyalah upaya kamuflase saya
menutupi kekurangan diri. Sebuah kesimpulan pahit justru saya peroleh dari
jawaban jujur saya atas pertanyaan tersebut, setelah kawan itu pulang. Sederet
kriteria kitab suci yang saya pakai untuk melakukan fit and proper test atas
rasa cinta saya pada Allah. Jawaban jujur itu ternyata saya belum mencintaiNya.
Kira-kira apa yang sampean rasakan saat nama
seseorang yang sedang sampean gandrung dan cinta disebut, berdesir ya? Jika
saat namanya disebut seperti darah mengalir lebih laju, kala bertemu dengannya
degup jantung berpacu tak menentu, waktu lama tak bersua ada perasaan rindu,
berarti ada rasa cinta yang sedang bertamu. Kiriman sms dan panggilan telepon
adalah hal yang sangat ditunggu dan pertemuan dengan kekasih adalah penyejuk
kalbu.
Serindu itukah kita pada Allah? Kala mendengar
adzan, apa yang muncul dalam benak kita; trengginas menyahuti ingin segera
bertemu yang dirindu atau ogah-ogahan karena terganggu? Di luar bulan puasa
saat sedang sibuk atau sedang asik bercengkerama, suara mana yang timbul: “kok
belum adzan sih?”, sebuah ungkapan perasaan yang senantiasa menunggu-nunggu
datangnya waktu sholat, atau karena waktu sholat dirasakan sebagai pemutus
kesenangan atau jeda di waktu yang tak tepat, sehingga yang muncul “kok sudah
adzan sih?”
Jika cinta sesama anak Adam dilukiskan dengan
adanya getaran saat nama kekasih disebut, maka bergetarkah hati kita saat
menyebut atau disebut nama Allah? “Orang-orang yang beriman, ialah mereka, yang
apabila disebut Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayatNya dibacakan kepada
mereka, bertambah kuat keimanannya, dan hanya kepada Tuhan mereka tawakkal” qs.
8:2. Coba jujur pada diri sendiri, itukah yang sampean rasa saat nama Allah
disebut, bergetarkah? Katanya cinta?
Percintaan sering digambarkan dengan pelayanan
dan kesediaan mengalahkan keinginan dan kepentingan pribadi demi mendapatkan
hati yang dicintai. Apapun dilakukan atas nama cinta. Bahkan jika tengah malam
ada panggilan dari sang pujaan hati, banyak yang tetap berjuang untuk datang.
Kencan tengah malam, siapa yang bisa menolaknya? Itulah cinta, kadang sulit
dicerna. Lalu bagaimana jika yang memanggil dan meminta sampean untuk datang
dan berkencan tengah malam itu adalah Tuhan kita, Sang Robb, Allah
Subhanahuwata’ala?
“Dan waktu malam, salat tahajudlah sebagai
(ibadah) tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji
dan terhormat”. 17:79. Bayangkan kita tengah tidur lelap, hujan deras, hawa
dingin menusuk tulang, relakah kita memutus tidur, menyibakkan selimut, melawan
dinginnya malam bersentuhan air hanya untuk menemui Allah? Tertarikkah kita
dengan janji balasan cinta dari-Nya dan pengangkatan derajat yang secara dhohir
tidak bisa diukur dan dirasakan?
Pernahkah sampean selingkuh? Semoga tidak. Tapi
pernahkah sampean memikirkan hal atau orang lain saat sedang berduaan dengan
kekasih atau pasangan? Jika pernah, konon kata orang itu juga tanda-tanda
selingkuh hati. Pun demikian halnya ketika kita berduaan dengan Allah dalam
sholat. Bisakah kita saat sholat hanya fokus (khusyu) memikirkan dan berdialog
dengan-Nya tanpa ingat dan memikirkan yang lain? Karena memang demikianlah
semestinya sholat.
Tapi pernahkah kita saat sholat yang harusnya
hanya intim dengan Allah, tapi pikiran kita melayang: “waduh, besok deadline
kerjaan”, “komporku tadi udah ta matiin belum ya”, “besok presentasi produk?”,
“kampanye di dapil sana harus sukses”, dan hal dunia lainnya, pernah? Atau
malah sering. Jika itu yang terjadi berarti kita telah selingkuh. Itulah kenapa
Allahpun tidak sudi menoleh pada kita. Ujungnya sholat kita tidak pernah
memberi dampak pada perilaku sosial kita. Karena sholat yang tidak pernah
sampai kepada-Nya. Di mana semestinya sholat bisa memberi perbedaan prilaku
sesudah sholat lebih baik dibanding sebelum sholat.
Lagi, Nabi bersabda: Man la yarhamunnas, la
yarhamuhullohu, barangsiapa yang tidak mencintai sesama manusia, maka Allahpun
tidak mencintainya. Tiap rasa cinta tentu besar harapan berbalas. Demikian juga
kalau kita mengaku cinta Allah, mengharap balasan dengan cintaNya. Padahal
cinta Allah kepada kita sangat bergantung pada seberapa tulus dan terbuktinya
cinta kepada sesama. Mampukah sampean membuktikan cinta dengan menyayangi
sesama seperti menyayangi diri sendiri?
Bila sampean sedang berdekatan dengan penjual
minyak wangi, tercium bau wangi bahkan tak jarang diolesi minyak wangi. Kalau
memang benar-benar kita dekat kepada Allah seperti yang kita gembar-gemborkan,
maka pasti kita jiwa kita akan penuh kasih akibat “tertular dan terolesi” sifat
Allah Yang Ar Rahman dan Ar Rahim, Pengasih Penyayang. Dan bohong besar mengaku
dekat dan cinta kepada Allah tapi jauh dari sifat kasih. Duduk nyaman dalam
mobil mewah, cuek melewati sesamanya yang kelaparan.
Cinta Nabi Muhammad pada Allah dibuktikan
dengan pengorbanan harta, waktu, pikiran bahkan taruhan nyawa. Sampai saking
gandrung dan kedanen Allah, puja-puji pada sang kekasih tertuang dalam 99 nama
asmaul husna. Itulah adalah ungkapan cinta sang Nabi menggambarkan sang kekasih.
Demikian pula para sahabatnya. Sahabt Bilal memilih cinta Tauhid meski disiksa,
Abu Bakar mengorbankan status sosial dan hartanya, Umar, Ali, Usman yang tak
terhitung pengorbanannya semua demi cinta.
Gimana sekarang, masih mau dan sanggup mencintai
Allah? Masih keukeuh merasa punya rasa cinta pada Allah? Baiklah, coba baca
ayat berikut:
Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu atau kerabatmu; kekayaan yang kamu
peroleh, peniagaan yang kamu khawatirkan akan mengalami kerugian dan tempat
tinggal yang kamu sukai – lebih kamu cintai daripada Allah, atau RasulNya atau
berjihad di jalanNya; maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan
(siksa)Nya. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik”, qs.
9:24.
Membaca ayat ini, sayapun
diam tertunduk lesu, lidahpun kelu. Bak pedang tajam, ayat ini menusuk telak
tepat di jantungku. Tidak ada lagi alasan-alasan yang bisa saya buat-buat. Mau
bilang apa, lha wong memang saya kerap masih lebih mencintai hal-hal tersebut
daripada Allah. Ingatan dan kenyamanan saya lebih banyak pada hal-hal yang
diprediksi dalam ayat tersebut daripada Allah. Jawabannya sudah jelas: ternyata
cintaku palsu! Bagaimana dengan sampean? Wallahu a’lam. Bismillah.
Penulis: Gus Glory