Ads 468x60px

Friday, October 16, 2015

KEPALSUAN CINTA |part 2

Kepalsuan Cinta | Gus Glory | Penulis
“Gus, seberapa besar sih cinta sampean kepada keluarga?”, pertanyaan kawan itu membuyarkan keasikan saya menikmati bulan purnama. “Ya besar dong, pokoknya ga bisa diukur”, jawabku sekenanya. “Kalau kepada Allah cinta nggak?”, usiknya lagi. Sayapun menjawab singkat: “Pasti”. Belum puas diapun melanjutkan: “Besar mana dengan cinta pada keluarga

Spontan saya ingin jawab besar kepada Allah, tapi nafas saya seolah tercekat. Karena saya rasa itu dusta. Lalu timbul jawaban lain, ya seimbang lah, tapi itupun tertahan, karena bahkan seimbangpun sepertinya belum.

Akhirnya jawaban yang muncul adalah penjelasan-penjelasan saya yang nggak jelas. Kumpulan logika, justifikasi dan penafsiran dangkal dari dalil-dalil, semuanya hanyalah upaya kamuflase saya menutupi kekurangan diri. Sebuah kesimpulan pahit justru saya peroleh dari jawaban jujur saya atas pertanyaan tersebut, setelah kawan itu pulang. Sederet kriteria kitab suci yang saya pakai untuk melakukan fit and proper test atas rasa cinta saya pada Allah. Jawaban jujur itu ternyata saya belum mencintaiNya.

Kira-kira apa yang sampean rasakan saat nama seseorang yang sedang sampean gandrung dan cinta disebut, berdesir ya? Jika saat namanya disebut seperti darah mengalir lebih laju, kala bertemu dengannya degup jantung berpacu tak menentu, waktu lama tak bersua ada perasaan rindu, berarti ada rasa cinta yang sedang bertamu. Kiriman sms dan panggilan telepon adalah hal yang sangat ditunggu dan pertemuan dengan kekasih adalah penyejuk kalbu.

Serindu itukah kita pada Allah? Kala mendengar adzan, apa yang muncul dalam benak kita; trengginas menyahuti ingin segera bertemu yang dirindu atau ogah-ogahan karena terganggu? Di luar bulan puasa saat sedang sibuk atau sedang asik bercengkerama, suara mana yang timbul: “kok belum adzan sih?”, sebuah ungkapan perasaan yang senantiasa menunggu-nunggu datangnya waktu sholat, atau karena waktu sholat dirasakan sebagai pemutus kesenangan atau jeda di waktu yang tak tepat, sehingga yang muncul “kok sudah adzan sih?”

Jika cinta sesama anak Adam dilukiskan dengan adanya getaran saat nama kekasih disebut, maka bergetarkah hati kita saat menyebut atau disebut nama Allah? “Orang-orang yang beriman, ialah mereka, yang apabila disebut Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka, bertambah kuat keimanannya, dan hanya kepada Tuhan mereka tawakkal” qs. 8:2. Coba jujur pada diri sendiri, itukah yang sampean rasa saat nama Allah disebut, bergetarkah? Katanya cinta?

Percintaan sering digambarkan dengan pelayanan dan kesediaan mengalahkan keinginan dan kepentingan pribadi demi mendapatkan hati yang dicintai. Apapun dilakukan atas nama cinta. Bahkan jika tengah malam ada panggilan dari sang pujaan hati, banyak yang tetap berjuang untuk datang. Kencan tengah malam, siapa yang bisa menolaknya? Itulah cinta, kadang sulit dicerna. Lalu bagaimana jika yang memanggil dan meminta sampean untuk datang dan berkencan tengah malam itu adalah Tuhan kita, Sang Robb, Allah Subhanahuwata’ala?

“Dan waktu malam, salat tahajudlah sebagai (ibadah) tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji dan terhormat”. 17:79. Bayangkan kita tengah tidur lelap, hujan deras, hawa dingin menusuk tulang, relakah kita memutus tidur, menyibakkan selimut, melawan dinginnya malam bersentuhan air hanya untuk menemui Allah? Tertarikkah kita dengan janji balasan cinta dari-Nya dan pengangkatan derajat yang secara dhohir tidak bisa diukur dan dirasakan?

Pernahkah sampean selingkuh? Semoga tidak. Tapi pernahkah sampean memikirkan hal atau orang lain saat sedang berduaan dengan kekasih atau pasangan? Jika pernah, konon kata orang itu juga tanda-tanda selingkuh hati. Pun demikian halnya ketika kita berduaan dengan Allah dalam sholat. Bisakah kita saat sholat hanya fokus (khusyu) memikirkan dan berdialog dengan-Nya tanpa ingat dan memikirkan yang lain? Karena memang demikianlah semestinya sholat.

Tapi pernahkah kita saat sholat yang harusnya hanya intim dengan Allah, tapi pikiran kita melayang: “waduh, besok deadline kerjaan”, “komporku tadi udah ta matiin belum ya”, “besok presentasi produk?”, “kampanye di dapil sana harus sukses”, dan hal dunia lainnya, pernah? Atau malah sering. Jika itu yang terjadi berarti kita telah selingkuh. Itulah kenapa Allahpun tidak sudi menoleh pada kita. Ujungnya sholat kita tidak pernah memberi dampak pada perilaku sosial kita. Karena sholat yang tidak pernah sampai kepada-Nya. Di mana semestinya sholat bisa memberi perbedaan prilaku sesudah sholat lebih baik dibanding sebelum sholat.

Lagi, Nabi bersabda: Man la yarhamunnas, la yarhamuhullohu, barangsiapa yang tidak mencintai sesama manusia, maka Allahpun tidak mencintainya. Tiap rasa cinta tentu besar harapan berbalas. Demikian juga kalau kita mengaku cinta Allah, mengharap balasan dengan cintaNya. Padahal cinta Allah kepada kita sangat bergantung pada seberapa tulus dan terbuktinya cinta kepada sesama. Mampukah sampean membuktikan cinta dengan menyayangi sesama seperti menyayangi diri sendiri?

Bila sampean sedang berdekatan dengan penjual minyak wangi, tercium bau wangi bahkan tak jarang diolesi minyak wangi. Kalau memang benar-benar kita dekat kepada Allah seperti yang kita gembar-gemborkan, maka pasti kita jiwa kita akan penuh kasih akibat “tertular dan terolesi” sifat Allah Yang Ar Rahman dan Ar Rahim, Pengasih Penyayang. Dan bohong besar mengaku dekat dan cinta kepada Allah tapi jauh dari sifat kasih. Duduk nyaman dalam mobil mewah, cuek melewati sesamanya yang kelaparan.

Cinta Nabi Muhammad pada Allah dibuktikan dengan pengorbanan harta, waktu, pikiran bahkan taruhan nyawa. Sampai saking gandrung dan kedanen Allah, puja-puji pada sang kekasih tertuang dalam 99 nama asmaul husna. Itulah adalah ungkapan cinta sang Nabi menggambarkan sang kekasih. Demikian pula para sahabatnya. Sahabt Bilal memilih cinta Tauhid meski disiksa, Abu Bakar mengorbankan status sosial dan hartanya, Umar, Ali, Usman yang tak terhitung pengorbanannya semua demi cinta.

Gimana sekarang, masih mau dan sanggup mencintai Allah? Masih keukeuh merasa punya rasa cinta pada Allah? Baiklah, coba baca ayat berikut:

Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu atau kerabatmu; kekayaan yang kamu peroleh, peniagaan yang kamu khawatirkan akan mengalami kerugian dan tempat tinggal yang kamu sukai – lebih kamu cintai daripada Allah, atau RasulNya atau berjihad di jalanNya; maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan (siksa)Nya. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik”, qs. 9:24.

Membaca ayat ini, sayapun diam tertunduk lesu, lidahpun kelu. Bak pedang tajam, ayat ini menusuk telak tepat di jantungku. Tidak ada lagi alasan-alasan yang bisa saya buat-buat. Mau bilang apa, lha wong memang saya kerap masih lebih mencintai hal-hal tersebut daripada Allah. Ingatan dan kenyamanan saya lebih banyak pada hal-hal yang diprediksi dalam ayat tersebut daripada Allah. Jawabannya sudah jelas: ternyata cintaku palsu! Bagaimana dengan sampean? Wallahu a’lam. Bismillah.

Penulis: Gus Glory

5 comments:

  1. Astagfirullahal'adhim | ternyata saya belum cina pada ALLAH

    ReplyDelete
  2. Iya benar, ternyata kita masih jauh dari kata cinta kpada Allah. #Astaghfirullahal adzim

    ReplyDelete
  3. Subhanallah, Astaghfirullah, ternyata cintaku pada Allah SWT baru sebatas pengakuan hati, belum terimplementasikan, astaghfirullah!

    ReplyDelete
  4. Subhanallah, Astaghfirullah, ternyata cintaku pada Allah SWT baru sebatas pengakuan hati, belum terimplementasikan, astaghfirullah!

    ReplyDelete

 

Pengikut