Ads 468x60px

Tuesday, June 27, 2017

Air Mata Tuhan, Teguran Lebaran


Lama tak lebaran di kampung halaman, tahun ini bersyukur bisa mudik ke Lamongan Jatim. Sampai rumah ingin ajak anak anak menikmati pagi menyusuri pematang sawah. Menyapa hijau padi, bercengkerama dengan bumi. Baru saja hendak berangkat, langkah seperti ada yang menahan saat melewati klinik pesantren kami.

Menjenguk masuk. Ternyata ada satu pasien yang kondisinya sudah sangat payah. Rumah sakit telah angkat tangan. Selain staf klinik, tampak dia ditunggui dua anak kecil, satu kelas 2 SMP satunya lagi kelas 3 SD. "Gimana keadaannya pak?", saya sentuh kakinya. "Sulit bernafas dan badan sakit semua..", terengah jawaban bibirnya bergetar di antara selang oksigen dan infusnya.

Darmono namanya, umur 62 tahun, bekas pegawai kontrak PTP di Jember. Klien di panti werdha kami. Seminggu sebelumnya ada yang antar ke tempat kami karena sudah beberapa bulan terlantar bersama dua anaknya, Krisna dan Wisnu. Kerabatnya berjauhan. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Tidak memiliki rumah. Tinggal di rumah kosong di pinggir perkebunan bersama 2 anak kecilnya.

Malam sebelumnya, staf kami yang di Denpasar kirim foto 2 anak kecil. Vanesa, 6 tahun dan Rasya, 3 tahun. "Siapa mereka?". "Siap gus. Mereka diserahkan bapaknya. Seorang pria asal Papua. Bercerai dengan istrinya. Hidup nomaden karena sulit mendapat kerjaan. Berharap agar SPMAA BALI bisa merawat dan mengasuh mereka". "Apakah anaknya mau dan tampak nyaman?". "Langsung akrab dan tampak ceria bersama anak asuh kita yang lain kok gus". "Kalian sendiri siap menerima amanah?". "Insya Allah gus. Bismillah".

Pagi ini, saya saliman ke ibu karena hendak ke Surabaya. Mau belanja kebutuhan penghuni asrama yang tidak mudik. Edisi tebar kegembiraan lebaran ceritanya. Saya suruh adik untuk menanyakan satu persatu apa yang mereka ingin beli. Termasuk dua anak dari pasien klinik tadi, Krisna dan Wisnu. Ternyata ibu saya, bunda Masyrifah, juga sedang menyuruh adik saya yang lain untuk menyiapkan makanan pagi bagi pak Darmono.

Adik saya datang dengan sepiring nasi, lauk ikan dan sebuah pisang. Saya tegur, "Dik.. dulu Abi kita ngajari kita mencintai diri lain seperti mencintai diri sendiri. Coba bayangkan kalau nanti di akhirat kita ditanya Allah 'hai fulan apa kamu minta makan' 'iya gusti' 'lha kamu dulu sewaktu di dunia Aku sakit saja kamu kasih makan seadanya maka sekarang makan nih seadanya'. Dik.. orang sakit yang bukan siapa siapa kita itulah wakil Tuhan di bumi. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima di akhirat". Adik saya diam. Digantinya dengan lauk lebih lengkap dan lebih lezat. Lalu diantarkannya.

Baru beberapa menit setelah makanan di antar, staf klinik datang tergopoh. "Gus.. pak Darmono meninggal!". Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Anaknya tampak terisak di sampingnya. Hati saya teriris. Sesak saya bertanya, "Tadi gimana meninggalnya?". Sesenggukan Krisna jawab, "Tadi bapak panggil kami mendekat. Lalu peluk kami erat dan bilang sudah ga kuat. Lalu pelukannya melemah dan ga ada lagi..". Saya tak mampu lagi melanjutkan pertanyaan. Saya ajak anak dan istri mendekat lalu minta maaf karena takut nanti di hadapan Allah tercatat kurang perhatian.

Jenasah kami makamkan hari itu juga. Gerimis turun. Krisna dan adiknya duduk di depan nisan. Tangan tangan kecil yang lemah itu membelai makam ayahnya. Pusara itu basah. Oleh rintik hujan dan oleh air mata dua yatim piyatu itu. Di kejauhan sayup suara tadarus masih mengalun. Lebaran tinggal beberapa hari. Tapi dua anak ini harus kehilangan ayahnya. Saat banyak orang menyambut kegembiraan, dua anak ini harus sendirian menerima nestapa. Ibu tempat mengadu sudah berpulang dahulu, ayah tempat bermanja kini telah tiada.

Dulur.. saya sampaikan hal ini untuk pelajaran saya dan sampean semua. Bahwa kita perlu meningkatkan rasa simpati dan empati. Hiduplah sambil melihat kehidupan orang lain. Utamanya yang secara duniawi di bawah kita. Masih banyak anak negeri yang kesusahan. Masih banyak nikmat Ilahi yang kita terima dengan keluh kesah. Padahal masih banyak "Darmono" lain. Masih banyak kisah pilu Krisna, Wisnu, Vanesa dan Rasya lainnya yang membutuhkan irisan hati kita.

Insya Allah, Krisna dan Wisnu akan kami rawat di SPMAA Lamongan. Sementara Vanesa dan Rasya akan kami asuh dan sekolahkan di SPMAA Bali. Tapi kami tidak bisa sendiri. Ibu pertiwi membutuhkan lebih banyak lagi savior. Bukan sekedar orator, tapi the true mentor. Butuh lebih banyak lagi pelayan kehidupan. Kita perlu membangun persaudaraan. Perlu menambah kuantitas dan kualitas saudara. Darmono ternyata punya banyak saudara kandung. Sayangnya, ikatan darah tidak menjamin adanya simpati dan empati.

SPMAA didirikan Pak Guru Muchtar untuk wadah penyuburan bibit saudara sejati meski bukan famili. Agar lebih banyak lagi simpul persaudaraan sejati di muka bumi yang semata dilandasi cinta suci, cinta sesama insani, wakil Ilahi di bumi ini.
Bagaimana dengan sampean, dulur ? Mau jadi saudara sejati saya ?
Salam seduluran temenan. Bismillah

0 comments:

Post a Comment

 

Pengikut