Ads 468x60px

Friday, April 4, 2014

Fathul Indonesia: Kemenangan Tanpa Kekuasaan

Peristiwa Fathul Makkah yang ditandai dengan masuknya Rasulullah ke Makkah berlangsung aman. Gemuruh kalimat takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dan istighfar bergetar membahana seiring panji tauhid yang berkibar merambati penjuru kota. Lembah Makkah terperangah menyambut seorang yang pernah diusir, dikejar dan hendak dibunuhnya: Muhammad bin Abdillah.

Sampailah Rasulullah di kompleks pelataran Ka'bah. Beliau memasuki Baitullah kemudian membersihkan patung-patung batu dari dalamnya. Setelah itu beliau berdiri di pintu Ka'bah sambil memandangi penduduk Makkah yang sejak awal berharap cemas menunggu pidato kemenangan Rasulullah.


Alhamdulillah, atas kuasa kasih Allah, pidato Rasulullah memuaskan harapan banyak orang, terutama kafir musyrik Quraisy. Dengan budi agungnya, Rasulullah mengampuni semua penduduk yang selalu berlaku kejam terhadap kaum Muslim di masa lalu. Mereka dibebaskan dari tuntutan dari hukuman. Tak terkecuali Abu Sufyan dan keluarganya yang menyambut gembira keputusan pengampunan Rasulullah itu.

Peristiwa Fathul Makkah dengan runtuhnya pamor Abu Sufyan dan kawan-kawan dapat dimaknai sebagai kemenangan raya. Galibnya sang pemenang akan menduduki tempat itu dan mematok berbagai macam tanda kekuasaan di daerah taklukan. Para pemimpin wilayah akan dilengserkan lalu ditawan sebagai pecundang yang kalah perang.

Namun Rasulullah disucikan dari nafsu ambisi kekuasaan yang melenakan. Ketokohan Abu Sufyan dibiarkan tidak dipreteli. Bahkan beliau menjamin siapa saja yang berlindung di rumah Abu Sufyan akan aman. Pun karena misi Rasulullah tidak bermotif pengawetan citra ketokohan, beliau hanya sebentar saja mukim di Makkah, selanjutnya kembali menetap hingga wafat di Madinah.

Fathul Makkah menyuguhkan pelajaran buat kita semuanya tentang kemenangan tanpa motif kekuasaan. Kemenangan bukan diniati sebagai tujuan akhir penguasaan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Kemenangan itu tidak diawali obsesi penaklukan dan atau dominasi politik sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Kemenangan itu tidak boleh dikotori nafsu fait accompli, klaim pemaksaan kebenaran ideologi agar semua orang tunduk mengikuti.

Rasululah telah meneladani kita semuanya, terutama Muslim Indonesia. Melalui Fathul Makkah, beliau menyejarah sebagai pemimpin yang qonaah dan tak tergiur korupsi imamah. Bisa saja beliau memanfaatkan kedudukannya untuk meraup harta sebanyak-banyaknya untuk mendandani anak isterinya, untuk memfasilitasi perjalanannya, untuk memperbaiki perabot rumahnya, untuk mengangkat citra wibawa kepemimpinannya, untuk melengkapi koleksi baju dinasnya, atau dengan alasan yang terkesan mubah: “demi kepentingah dakwah”.

Tapi semua itu tidak dilakukan. Beliau tetap dengan kesahajaannya. Hingga wafat, Rasulullah sangat-sangat jelata, walau kedudukan beliau saat itu setara dengan Raja Persia dan Kaisar Roma. Melalui teladan kepemimpinan Rasulullah, maka tesis Lord Acton bahwa power tends to corrupt menjadi gugur dan tidak menemukan kesesuaiannya.

Kiranya kita perlu bertanya dan refleksi kembali, terutama bagi saudara kita yang saat ini sedang berpolitik, sedang berdagang, berproses meraih jabatan, dan atau sedang mengharap kedudukan. Apakah niat awal hingga tujuan akhirnya ingin ikhlas berbagi kebaikan ataukah menurutkan ambisi duniawi dan godaan kekuasaan?

Apapun partai yang dikendarai, apapun proses politik yang dilalui, apapun bisnis yang digeluti, apapun jenjang karir yang dilakoni, koreksi kembali niatan awal kita. Jika masih tertanam loba harta dunia, maka sadarlah. Jika masih terdapat setitik nila rasa ingin berkuasa, maka undur dirilah. Jika terbersit niat ingin merasakan nikmat memerintah, maka hentikanlah. Jangan diteruskan. Karena itu keliru.

Loba harta dunia (hubbud-dunya) akan memaksa kita terseret sistem ribawi, hukum rimba, koruptif dan manipulatif. Obsesi kekuasaan akan memenjarakan nurani kita dalam kerangkeng kejahatan dan menjauhkan diri dari cahaya iman. Nafsu ingin memerintah akan membuat perangai kita semena-mena dan mengabaikan peringatan kebaikan. Semuanya itu bermuara pada sifat buruk: enggan sedekah, abai terhadap si miskin, kemaruk kaya, haus puja-puja, dan super ego yang menistakan norma keadilan.

Ayolah kita berhijrah dan berubah sebagaimana teladan Rasulullah. Seruan ini berlaku bagi penulis pribadi dan semua warga negara dunia, khususnya masyarakat Indonesia. Belajarlah dari Fathul Makkah. Kemenangan bukan bertujuan mencari dan mengawetkan kekuasaan. Bahwa kemenangan itu hanyalah proses yang semata dihadiahkan Tuhan. Kemenangan yang tanpa mengalahkan martabat kemanusiaan. Kemenangan yang berselera keadilan dan dinikmati oleh semua insan. Kemenangan itu adalah tangis pertobatan, menginsyafi kesalahan dan sujud pengakuan kekuasaan semata hanya milikNYA. Sebagaimana definisi kemenangan yang difirmankan Allah dalam Al Quran sesaat setelah peristiwa Fathul Makkah:

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan; dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah; maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-NYA. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat”. (QS. 110 : 1-3)

Maknai secara nyata peringatan Tahun Baru Hijriyah 1432 kali ini sebagai kemenangan semua insan. Rangkaikan dengan renungan Hari Anti Korupsi yang diperingati tepat tanggal 9 Desember ini. Hiduplah sederhana, hindari sifat boros yang berlebihan. Jangan mau dirayu setan untuk berebut kedudukan, kebanggaan, kehormatan dan kekuasaan duniawi, karena itulah awal peluang korupsi. Mari wujudkan kemenangan tanpa motif kekuasaan dan harta benda dunia. Mari bertobat mengakui kesalahan. Mari bersujud mengakui kekuasaanNYA semata. Iringi selalu aktifitas kita dengan doa pujian harap restu bimbinganNYA. Itulah kemenangan kita semua. Fathul Indonesia !!!
Penulis: Gus Adhim

0 comments:

Post a Comment

 

Pengikut